Puasa Rajab Berdasarkan Hadits Palsu, Benarkah?

MENURUT kalender Kementerian Agama, bulan Rajab akan bertepatan dengan Tahun Baru 2025. Dengan kata lain, 1 Rajab sama dengan 1 Januari 2025. Di bulan Rajab ada anjuran melakukan puasa. Namun, ada sejumlah pihak yang mempermasalahkan hukum dari puasa Rajab karena berdasarkan hadis-hadis palsu. Benarkah?

Lantas bagaimana sebenarnya hukum dari puasa Rajab itu? Berikut uraian dari Ustaz Faris Khoirul Anam, salah satu dewan pakar dari Ahlussunnah Waljamaah (Aswaja) NU Center Jatim.

1. Hadis tentang puasa di bulan-bulan mulia.

Ada keterangan hadis tentang puasa di bulan mulia yaitu Zulkaidah, Zulhijah, Muharam, dan Rajab. Berikut hadisnya.

Baca juga: Siapakah Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani?

Atas wewenang Abu Mujiba Al-Bahili, Nabi Muhammad SAW bersabda kepadanya: Puasa dari Masjidil Haram dan berangkat. (HR. Ahmed dan Abu Dawood)

Diriwayatkan dari Abu Mujibah al-Bahili, bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda kepadanya, “Puasa dari bulan suci lalu berangkat. Puasa dari bulan suci lalu berangkat.” (HR Ahmad dan Abu Dawud).

Mengomentari hadis ini, Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani mengatakan bahwa puasa Rajab sebagai bagian dari bulan-bulan mulia ialah amaliah yang disyariatkan. Bahkan Rajab ialah bulan mulia yang paling utama.

Baca juga: 11 Hadits Nabi Muhammad SAW tentang Kemuliaan Ibu

Menurutnya, orang yang mengatakan bahwa semua hadis tentang Rajab tergolong palsu, termasuk hadis tentang puasa di bulan-bulan mulia ini, dia telah membuat kedustaan dan harus bertobat.

Imam Ibnu Hajar menjelaskan hal itu lebih jauh.

Maka perhatikanlah perintahnya – semoga Tuhan memberkatinya dan memberinya kedamaian – untuk berpuasa pada bulan suci dalam riwayat pertama dan berpuasa pada bulan-bulan tersebut dalam riwayat kedua. Mengenai perintah berpuasa pada bulan Rajab atau berpuasa pada bulan tersebut; Karena ini adalah salah satu bulan suci, dan memang termasuk salah satu bulan terbaik, orang bodoh ini mengatakan bahwa hadits tentang puasa Rajab adalah rekayasa jika ia bermaksud demikian. Di dalamnya terdapat hadits-hadits yang menunjukkan puasanya secara umum dan khususnya, maka ia berbohong dan memfitnahnya, maka hendaklah ia bertaubat karenanya, jika tidak maka akan diberikan teguran yang fasih kepadanya. (Al-Fatawa Al-Fiqhi Al-Kubra: 2/54)

Baca juga: Prioritas Yaman dan Rakyatnya Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits

Perhatikan perintah Nabi SAW berpuasa pada bulan suci pada riwayat pertama dan berpuasa di antaranya pada riwayat kedua. Anda menemukan teks berupa perintah puasa Rajab atau puasa antar hari. Hal itu dikarenakan Rajab merupakan bagian dari bulan-bulan suci, bahkan yang terpenting di antara bulan-bulan suci lainnya. Kemudian orang bodoh ini mengatakan bahwa hadis-hadis tentang Rajab semuanya palsu. Jika dia mengatakan hal itu dengan tujuan memuat hadis-hadis perintah menunaikan puasa Rajab secara umum atau khusus, maka itu adalah kebohongan dan kebohongan darinya. Dia harus bertobat. Jika dia tidak mau, dia harus dihukum berat. (Al-Fatawa Al-Fiqhiyyah al-Kubra, Jilid 2, 54).

2. Ada hadis palsu tentang bulan Rajab namun tidak didukung.

Amalan puasa Rajab yang dilakukan para ulama tidak didasarkan pada hadis-hadis palsu yang ada. Dijelaskan dalam al-Fatawa al-Kubra, Jilid 2, 54:

Banyak hadits palsu yang diriwayatkan mengenai keutamaan puasanya, dan para imam kami serta orang lain tidak berpegang pada anjuran puasanya. Fatwa Yurisprudensi Utama (2/54)

Baca juga : Tiga Ulama Indonesia yang Menjadi Imam Masjidil Haram

Tentang keutamaan puasa Rajab, banyak hadis palsu yang diriwayatkan. Namun para ulama kami tidak memikirkan keutamaan puasa Rajab berdasarkan hadis-hadis palsu tersebut. Mereka tidak mungkin melakukan hal itu.

3. Terdapat beberapa hadits lemah (lemah) tentang puasa Rajab.

Sebenarnya para ulama menyadarkan puasa Rajab terhadap hadis-hadis yang lemah atau lemah. Namun hadis tersebut bisa diamalkan karena puasa Rajab merupakan ibadah tambahan (fadhail al-a’mal). Hal ini dijelaskan dalam surat al-Fatawa.

(Dan dia ditanya) Semoga Allah memberi manfaat kepadanya dari hadits: “Sesungguhnya di surga ada sungai yang bernama Rajab, yang airnya lebih putih dari susu dan lebih manis dari madu, siapa pun yang berpuasa.” Pada suatu hari di bulan Rajab, Allah memberinya air dari sungai itu.” Dan hadits: “Barangsiapa yang berpuasa setiap hari Kamis, Jumat, dan Sabtu, maka dicatat baginya ibadah tujuh ratus orang.” Sunnah” dan hadits “Barangsiapa yang berpuasa sehari di bulan Rajab, maka puasanya seperti sebulan, dan siapa yang berpuasa tujuh hari di bulan tersebut, maka tujuh pintu neraka akan tertutup baginya.” Barangsiapa berpuasa delapan hari, maka akan dibukakan baginya delapan pintu surga, dan barangsiapa berpuasa sepuluh hari, maka amal buruknya akan digantikan dengan amal baik. Apakah itu topik atau tidak?

(Dia menjawab) dengan mengatakan: Itu tidak dibuat-buat, melainkan lemah, sehingga boleh meriwayatkan dan mengamalkannya secara keutamaan, kata Al-Hafiz Ibnu Hajar di bagian pertama, bukan di Rangkaian riwayatnya tidak dianggap oleh siapa pun yang memperhatikannya kecuali Mansour Al-Asadi, dan sekelompok orang meriwayatkan darinya, namun saya tidak melihat adanya perubahan apa pun di dalamnya, dan Al-Dhahabi menyebutkannya. Beliau melemahkannya dengan hadis ini dan mengatakan pada hadis kedua terdapat hadis dengan kata “enam puluh tahun ibadah,” yang lebih mirip, dan narasinya lebih baik dan rantai narasinya lebih parah daripada Yang lemah dekat dengan yang baik, dan yang ketiga mempunyai metode dan bukti yang lemah untuk mengangkatnya dari kepalsuan, dan Tuhan Yang Maha Mengetahui. Fatwa Yurisprudensi Utama (2/86)

Beliau (Ibnu Hajar) – semoga Allah memberikan manfaat kepadanya – ditanya tentang hadits (yang artinya), “Sesungguhnya di surga ada sungai yang bernama Rajab. Airnya lebih putih dari susu, lebih manis dari madu. mulai bulan Rajab, Allah akan memberinya air minum dari sungai.” Beliau juga ditanya tentang hadits yang artinya, “Barangsiapa berpuasa pada hari Kamis, Jumat, Sabtu, setiap bulannya, maka dicatat baginya ibadah 700 tahun.” Begitu pula beliau ditanya tentang hadits yang artinya, “Barangsiapa yang berpuasa satu hari di bulan Rajab, maka seolah-olah dia berpuasa sebulan. Barangsiapa berpuasa tujuh hari, maka tujuh pintu neraka terkunci baginya. .Barangsiapa yang berpuasa selama delapan hari, maka dibukakan baginya delapan pintu surga. Barangsiapa berpuasa selama 10 hari, maka keburukannya akan digantikan dengan kebaikan.”

Hadits itu salah atau tidak? Imam Ibnu Hajar menjawab, “Hadits-hadits tersebut tidak palsu (maudhu’), melainkan lemah (dhaif). Oleh karena itu, narasi dan amalannya dapat digunakan untuk amalan ibadah tambahan (fadhail al-a’mal). -Fiqhiyyah al-Kubra, Jilid 2, 86).

Secara rinci, Imam Ibnu Hajar menjelaskan bahwa hadis pertama dhaif, hadits kedua lebih kuat dari dhaif atau mendekati hasan, sementara hadis ketiga memiliki jalur-jalur periwayatan lain yang juga dhaif. Karena itu, ketiganya tidak dapat dihukumi sebagai hadis palsu.

Al-Hafiz Ibnu Hajar berkata: Pada awalnya, tidak ada seorang pun dalam rantai transmisi yang harus diperhatikan kecuali Mansour Al-Asadi, dan sekelompok meriwayatkan darinya, tetapi saya tidak melihat Ada modifikasi di dalamnya, dan Al-Dhahabi menyebutkannya dan melemahkannya dengan hadis ini, dan dia mengatakan pada hadis kedua ada beberapa cara dengan kalimat “menyembah enam puluh tahun,” dan lebih mirip dengannya. Sumbernya lebih baik dan rantai penularannya lebih parah daripada yang lemah, mendekati baik. Yang ketiga memiliki metode dan bukti yang lemah yang dapat digunakan untuk menghindari pemalsuan. Dan Tuhan tahu yang terbaik

Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan tentang hadis pertama bahwa dalam sanadnya tidak ada yang dapat dikaji personifikasinya kecuali Manshur al-Asadi. Sekelompok ulama meriwayatkan hadis darinya, tetapi tidak ada yang men-ta’dil. Al-Zhahabi menghukuminya dhaif dengan hadis ini. Tentang hadits kedua, ia memiliki banyak jalur periwayatan dengan redaksi ibadah 60 tahun. Redaksinya lebih mirip, statusnya lebih baik, dan sanadnya lebih kuat dari dhaif, dekat pada status hadis hasan. Hadits kedua memiliki jalur-jalur periwayatan lain yang juga dhaif, sehingga dapat naik derajatnya, tidak dapat dihukumi sebagai hadits palsu. Wallahu a’lam.

Lebih lanjut, ulama mazhab Syafi’i menyebut orang yang mengingkari amalan puasa Rajab karena hadisnya lemah adalah orang bodoh yang tertipu. Berikut penjelasannya.

Telah ditetapkan bahwa hadis lemah, hadis mursal, hadis terputus, hadis bermasalah, dan hadis palsu harus digunakan dalam keutamaan amal berdasarkan musyawarah, dan tidak ada keraguan bahwa puasa Rajab merupakan salah satu keutamaan amal shaleh, maka hadis-hadis lemah dan sejenisnya dipuaskan, dan hanya orang jahil dan sombong saja yang mengingkarinya. Fatwa Yurisprudensi Utama (2/54)

Dapat dipastikan bahwa hadis lemah, mursal, munqathi, mu’dhal, dan mauquf menurut kesepakatan para ulama dapat diamalkan pada ibadah tambahan (fadhail al-a’mal). Tidak dapat dipungkiri bahwa puasa Rajab termasuk ibadah tambahan yang amalannya berdasarkan hadis-hadis lemah dan sejenisnya. Mereka yang mengingkarinya adalah orang-orang bodoh yang tertipu. (al-Fatawa al-Kubra, Jilid 2, 54).

Karena itu, Faris menarik sejumlah kesimpulan.

a. Mengamalkan puasa Rajab sebagai bagian dari bulan-bulan mulia (asyhurul hurum).

B. Mengamalkan puasa karena kekhususan bulan Rajab tidak didasarkan pada hadis palsu (maudhu) melainkan hadis lemah yang memenuhi syaratnya.

Demikian penjelasan tentang puasa Rajab dan hadis-hadis yang medukungnya. Semoga bermanfaat. (Z-2)